Minggu, 07 April 2013

Mengapa Khuruj Menjadi Bidah???


Mereka berkata, khurujnya ahli dakwah selama 3 hari, 40 hari atau 4 bulan adalah bidah, sebab nabi saw dan para shohabatnya tidak pernah melakukannya, para tabiin dan juga para imam??????
Khuruj 3 hari, 40 hari dan 4 bulan
Entah apa yang terjadi pada manusia hari ini, para penuduh yang berkata bahwa khuruj fi sabilillah itu bidah, nampaknya lebih menyukai kondisi manusia yang tetap dalam kelalaian dan kemaksiatan serta jauh dari ketaatan, daripada berbongdong-bondongnya manusia bertaubat dan khuruj untuk mengishlah diri mereka serta tutut mendakwahkan agama pada manusia????
Dan senadainya seorang ahli maksiat berubah menjadi taat itu tidak diterima oleh mereka, sebab (menurut tanggapan mereka) pelaku bidah itu tidak dapat diharapakan taubatnya, berdasarkan hadits nabi saw “ Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam perkara (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka dia tertolak” (bukhari :III, kitab shulh, Ibnu Majah:1/7), berarti segala ketaatan orang tersebut sebagai hasil khurujnya atau melalui khuruj, sehingga ia dapat mengingglkan dosa-dosa besar dan berbagai kemaksiatan sertakerusakan adalah tertolak disisi mereka, sebab mereka menganggap segala sesuatu yang dibuat untuk sesuatu yang batil itu adalah batil.
Demikianlah tuduhan mereka kepada ahli dakwah dan tabligh serta orang-orang yang telah berubah menjadi baik dengan perantara dakwah dan khuruj fi sabilillah. Mereka menolak taubatnya para pelacur, penzina, koruptor, pencuri, pemabuk dan sebagainya, yeng telah bertaubat melalui usaha dakwah hanya karena mereka itu pernah khuruj bersama jamaah tabligh…
Syaikh aiman abu syadzi katakan, “ Inilah yang terjadi, mereka para pendengki menganggap baik para pelaku maksiat, yang diharapkan dapat bertaubat. Sebaliknya, mereka menjelekkan dakwah dan amal-amal yuang menyertainya yang dapat mendatangkan hidayah, hanya karena tuduhan; bahwa penentuan waktu 3 hari, 40 hari dan 4 bulan adalah bidah, karena sesuatu yang dilakukan untuk kebatilan adalah batil, dan barangsiapa yang menciptakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini , yang bukan darinya, maka dia tertolak.
Bidah secara khusus bermakna telah keluar dari aturan yang telah dibuat oleh Dzat pembuat syariat, yaitu Allah SWT. Dengan ketentuan seperti ini , maka segala sesuatu yang jelas dan dilakukan untuk berhubungan dengan agama atau tidak keluar dari aturan syariat, tidak termasuk bidah.
Lalu apakah dakwah ilallah yang bertujuan untuk membawa manusia ke dalam syurga atas dasar kasih sayang dan berharap agar manusia terhindar dari neraka serta murka Alloh, itu keluar dari syariat Alloh SWTdan Rasul-Nya???
Pasti tidak! Alloh dengan tegas telah memerintahkan Nabi SAW untuk berdakwah, yaitu dengan firman-Nya., “Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan Mau’idzah hasanah” (An-Nahl-125)
Perintah diatas juga berlaku untuk umat ini, sebab kalimat itu merupakan perintah yang muta’addi (merembet) yang ditujukan kepada umat sekaligus Rasul-Nya yang mulia. Hal ini diperjelas oleh firman Alloh Ta’ala, “ Katakalanlah (wahai Muhamaad), ini (dakwah) adalah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Alloh menurut cara-Ku dan orang-orang yang mengikuti-Ku . Dan Maha Suci Alloh, dan aku bukan sebagian dari kaum Musyrikin” (Yusuf:108) dan Firman Alloh, “Dan hendaklah dari kalian ada segolongan umat yang mengajak kebaikan dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104)
Dan nabi SAW pun telah memerintahkan berdakwah kepada seluruh umatnya dengan sabdanya, “sampaikanlah kalian dariku walaupun satu ayat.” Dan sabda beliau, :Hendaklah yang hadir dari kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Jika demikian, lalu mengapa ahli dakwah dicela? Apalagi memvonis mereka sebagai ahli bidah????
Dinatara mereka ada yang berkata, bahwa masalahnya adalah; mengapa harus 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan?? Pembatasan waktu inilah yang menjadikan khuruj disebut bidah…
Kami menjawab, Apakah masalah pembatasan waktu ini tidak sesuai menurut dugaan kalian, bahkan kalian menganggapnya bidah dan tertolak, maka kami menjawabnya demikian;
Terdapat banyak ucapan alim ulama dan hadits-hadits shohih yang mengesahkan pembatasan dan pengkhususan waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan kewajiban syari. Dan penjelasan akan hal itu adalah pada bab berikut ini (nazhrah ilmiyah fi ahli tabligh wad dakwah:1/41-42)
Pembatasan dan Pengkhususan Bilangan
Syaikh Aiman Abu Syadi selanjutnya berkata, Mari kita memperhatikannya menurut ilmu Ushul Fiqih;
Kami tidak menerima seandainya bilangan-bilangan ini disebut bermakna pembatasan, sebab masalah itu masuk dalam kaidah MAFHUM ‘ADAD (pengertian bilangan). Dan menurut jumhur ahli ushul fiqih, pengertian bilangan bukanlah hujjah secara substansi. Dan tidak ada konotasi pemahaman untuk bilangan, serta tidak bermakna peringkasan atas jumlah tersebut.
Definisi Mafhum ‘adad adalah ; Penunjukan lafadz yang diqaidi (disyariatkan) dengan suatu bilangan untuk menafikan suatu hukum yang lebih atau kurang, atau untuk menetapkan suatu opertentangan hukum yang diqoyyid (disyariatkan) dengan suatu bilangan ketika tidak adanya realisasi bilangan ini dengan dikurangkan atau ditambahkan.
Apabila suatu hukum dikhususkan dengan bilangan tertentu dan dibatasi dengannya, seperti firman Alloh SWT; “…..maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera.” (an-Nur:4). Maka bilangan 80 ini tidak berarti menafikan hukum selain bilangan 80 tersebut, baik hukum yang lain itu bertambah atau berkurang dari hukum yang telah dibatasi oleh bilangan tadi.
Definisi ini dibuat oleh Imam Al-Baidawi ra, Imam Al-Haramain, Abu Bakr Al-Bakilani, Imam Al-Amandi, dan mayoritas madzab Imam Hanafi. Mereka berargumentasi bahwa setiap bilangan , meskipun hakikatnya berbeda, namun tidak mengharuskan perbedaan dalam hukum-hukum penggabungan (isytirak). Bilangan-bilangan yang berbeda dalam satu hukum itu tidak terlarang.
Selama permasalahannya adalah demikian, maka pengkhususan hukum dengan bilangan, tidak mewajibkan hukum tersebut dinafikkan dari bilangan lainnya, sehingga lafadz tersebut menunjukkan kepada yang lainnya.
Mari kita sesuaikan pendapat para ulama tersebut dengan beberapa hadits nabi SAW. Sebagai contoh:
Contoh 1: Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush Sholihin menyampaikan wasiat yang disampaikan oleh para imam terhadap para pencari ilmu. Wasiat tersebut diawali oleh imam Adz-Dzahabi dalam bab At-Taubah. Dari Abu hurairah ra, aku mendengar rasulullah saw bersabda, “Demi Alloh, sesungguhntya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Alloh dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali” (shohih bukhori:VII/83, Musnad imam ahmad:II/341)
Imam Adz-Dzahabi pun menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani ra, Rasulullah saw bersabda, “ Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Alloh dan beristighfarlah kalian kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam sehari 100 kali” (musnad imam ahmad:iv/211).
Saya berkata, didalam hadits pertama disebutkan bahwa nabi saw beristighfar 70 kali dan didalam hadits yang lain disebutkan 100 kali. Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh Nabi SAW?? Apakah kedua perintah hadits ini dapat digabungkan dan diamalkan?? Apakah kedua hadits ini saling bertentangan satu sama lainnya??
Jawabannya, Pasti tidak bertentangan..
Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak istighfar dan menghimbau untuk bertaubat dan kembali ke jalan Alloh Taala. Tidak ada pertentangan dan tidak ada perbedaan diantara kedua hadits tersebut, sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut tidak dibatasi oleh substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang menginginkan lebih daripada jumlah tersebut, itu lebih baik dan diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya tidak sampai 100 atau 70 kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab kedua jumlah ini hanyalah perintah mandubah dan mustahabah (disukai), yang menjadikan pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi yang meninggalkannya..
Para pensyarah Riyadhush Sholihin, dalam Nuzhatul Muttaqin berkata, “ Hadits ini dan yang sebelumnya menunjukkan bahwa tujuan dalam hadits-hadits tersebut adalah untuk memperbanyak istighfar dan bersegera dalam bertaubat. Sementara penyebutan bilangan didalam hadits ini tidak bermaksud membatasi jumlah, namun justru memperbanyak jumlah.” (Nuzhatul Muttaqin:1/33)
Contoh ke 2: Imam bukhori ra meriwatkan sebuah hadits dari Abu hurairah ra, Nabi Saw bersabda, “ Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila berbicara ia bohong; Apabila berjanji ia ingkari; Apabila dipercaya dia berkhiatan” (shohih bukhori:1/15, muslim:1/44)
Lalu imam bukhori menyebutkan pula hadits datri Abdullah bin Amr ra, sesungguhnya nabi saw bersabda,” Empat tanda, barangsiapa memiliki keempat tanda ini, berarti ia seoarang munafik tulen. Dan barangsiapa memiliki salah satu tanda dari empat tanda tersebut berarti ia memiliki sebagian dari sifat munafik hingga ia meninggalkannya, yaitu Apabila dipercaya ia berkhianat, Apabila berbicara ia berdusta, Apabila berjanji ia mengingkari, Apabila berdebat ia berbuat jahat” (shohih Bukhori: 1/15, muslim:1/43)
Imam an nawawi rah menyebutkan kedua hadits ini didalam Riyadhush Sholihin, bab Menepati janji dan melaksankan janji.
Pada hadits yang pertama, Rasulullah saw menyebutkan tanda-tanda orang munafik ada 3. Sedangkan pada hadits yang kedua disebutkan ada 4 tanda.
Jadi manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW?? Dan siapakan munafik yang nyata kemunafikannya?? Apakah dengan 3 tanda ataukan dengan 4 tanda?? Seandainya tanda-tanda orang munafik ini terbatas dan teringkas dalam 3 atau 4 tanda, maka mengapa nabi saw mengkhutbahi umatnya demikian?? Apakah penjelasan tanda-tanda orang munafik itu terlambat dari waktu yang sesuai???
Jawabnya, pasti tidak demikian.
Kita tidak menafikan kedua hadits tersebut. Dan tidak ada pertentangan diantara keduanya. Para Pensyarah Riyadhush Shalihin berkata, “ Dalam hadits pertama, orang munafik memiliki 3 tanda, dan dalam hadits kedua disebutkan 4 tanda, tidak ada pertentangan diatara keduanya, sebab mafhum adad tidak bermakna meringkas dan bukan suatu hujjah.” (nuzhatul Muttaqin:1/568)
Allamah Ibnu Allan Rah dalam pembahasan hadits mengenai tanda-tanda orang munafik, berkata, “Tidak ada pertentangan antara sabda nabi saw mengenai tanda-tanda orang munafik yang empat dan sabda beliau yang sebelumnya, bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga. Sebab, suatu yang satu memiliki banyak tanda. Setiap tanda dapat diketahui dengan sebuah karakter. Dan dapat terjadi sebuah tanda itu adalah sesuatu yang satu, atau terkadang sesuatu yang banyak.”
Imam At-thibby rah, berkata. “ Kadangkala tanda-tanda itu disebutkan sebagian dan kadangkala disebutkan semuanya, atau disebutkan mayoritasnya.”
Imam Az-Zarkasyi rah berkata, sesungguhnya pengkhusussan dengan bilangan tidak menunjukkan bertambah atai berkurangnya suatu bilangan (Dalilul Falihin:III/163-164)
Maksundya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan dengan bilangan itu, baik bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.
Contoh ke 3: Imam muslim meriwayatkan hadits dari aisyah rha, rasulullah saw bersabda, “tiada seorang mayit yang disholati oleh kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang yang semuanya mensyafaatinya, kecuali pada hari kiamat mereka akan mensyafaatinya.” (shohih muslim-Misykatul Mashobih, no 1661)
Lalu beliau juga menybutkan sebuah hadits Ibnu abbas ra, “sesungguhnya seorang putranya meninggal dunia di Qudaid atau di Usfan, lalu ia berkata, Ya Kuraib!! Lihatlah orang-orang yang datang untuk mensholati mayit dan hitunglah! Kuraib berkata, lalu aku keluar dan tiba-tiba orangsudah berkumpul. Akupun menghitungnya, lalu aku kukabarkan kepada Ibnu abbas, lalu dia berkata, “ Apakah kamu berkta mereka 40 orang?” Kuraib menjawab, “Ya”. Ibnu abbas berkata, “Keluarkanlah mayitnya! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ Tidak ada seorang pria muslim yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan memberi mereka syafaat untuk mayit. “ (Shohih muslim-misykatul mashobih, no.1660).
Imam an nawawi rah dalam riyadhush sholihin, bab Disukai memperbanyak orang yang sholat atas jenazah dan menjadikan shaf mereka menjadi 3 atau lebih, juga menyebutkan hadits tersebut.
Murtsid bin abdillah al yazani berkata, Malik bin Hubairah ra, apabila mensholati jenazah, dan ia menganggap jumlahnya sedikit, maka ia membaginya menjadi 3 shaf, lalu ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Apabila seorang mayit disholati oleh 2 shaf, maka mayit tersebut wajib masuk syurga. “(Abu dawud, Tirmidzi-Kanzul Ummal. No. 42265)
Imam an nawawi rah dalam membahas hadits nabi saw tersebut menyatakan, “Tiada seorang mayit yang dihsolati oleh umat muslim yang mencapai seratus orang, yang semuanya mensyafaatinya, kecuali mereka mensyafaatinya (pada hari kiamat).”
Dan hadits, “Tidak seorangpun yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan mensyafaati mereka untuk mayit tersebut.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, “Tiga (3) shaf.” Qodhi iyadh rah berkata, “ KOnon hadits-hadits itu turun sebagai jawaban atas orang-orang yang bertanya mengenai mayit, lalu setiap pertanyaan dijawab dengan hadits-hadits tersebut.” (syarah shohih muslim:VII/17)
Demikian pendapat Qodhi Iyadh rah, sehingga mungkin saja Nabi saw mengabarkan penerimaan syaffat 100 orang, lalu mengabarkan penerimaan syafaat 40 orang, lalu hanya 3 shaf, meskpin jumlahnya berkurang. Mungkin juga akan dikatakan bahwa ini adalah mafhum adad yang tidak dapat dijadikan hujah bilangan tertentu menurut jumhur ulama ushul.
Dengan hasits adanya penerimaan syafaat 100 orang, maka tidak ada pengharusan syafaat hanya diterima dengan 100 orang yang mensholatinya, dan menolak syafaat yang lebih rendah darinya. Demikian juga jumlah 40 orang dan 3 shaff. Dengan demikian, semua hadits ini dapat diamalkan dan syafaat tentu bisa didapatkan dengan kedua jumlah yang paling sedikity, yaitu 3 shaff dan 40 orang.
Allamah ibnu allan menjelaskan , “Tidak ada pertentangan antara khabar (hadits) ini dengan khabar sebelumnya, sebab mahfum ‘adad bukan sebagai hujah, menurut pendapat yang shohih, sebab Alloh mengabarkan kepada Nabi saw dengan cukupnya jumlah seratus orang yang mensholati mayit, lalu karunia ini ditambah oleh Alloh Ta’ala dengan mengabarkannya cukup akan mendapatkan syafaat terhadap mayit dengan orang yang mensholatinya sejumlah 40 orang. Wallahu a’lam (Dalilul falihiin, syarah riyadhush sholihin: III/416)
Di dalam nuzhatul muttaqin, para pensyarah berkata, “hadits ini menunjukkan istihbab yaitu disunnahkannya menjadikan 3 shaf atau lebih bagi orang –orang yang mensholati jenazah. Meskpiun jumlahnya sedikit, tetapi mereka terlihat banyaknya dalam penerimaan mereka oleh Alloh swt dan permohonan syafaat untuk saudara mereka. Tidak ada pertentangan antara hadits-hadits ini, baik hadits yang menentukan 100 orang, 40 orang, dan 3 shaff, sebab ‘adad (bilangan) tidak memiliki konotasi. Sedangkan tujuannya adalah al katsrah (banyak).” (Nuzhatul Muttaqin:I/407).
Pendapat ini sama dengan perkataan alim ulama ushul fikih. Menurut pendapat yang shohih, bahwa pengertian bilangan bukan merupakan dalil ketetapan dan tidak bermakna pembatasan.
Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap bahwa ahli dakwah dan tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari, dan seterusnya…..???
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan peringkasan dalam kewajiban dakwah.
Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli dakwah itu sendiri yang mutawatir, bahwa bilangan hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya..
Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai pembatasan. Siapa yang ingin keluar di jalan Alloh Ta’ala sehari, maka tidak ada jeleknya, bahkan terpuji. Dan barangsiapa keluar dijalan Alloh 4 hari atau 5 hari, maka tidak ada dosa baginya. Bahkan pada dasarnya, semua waktu itu adalah milik Alloh Ta’ala, agamaNya, dan dakwah Rasul-Nya.
Hanya karena kelemahan para jamaah dakwah tersebut, mereka mendahulukan waktu-waktu tersebut, karena waktu-waktu tersebut adalah waktu yang paling sedikit diatara yang sedikit. Siapa yang ingin meluangkan waktunya lebih daripada waktu-waktu tersebut, maka pintu dakwah tetap terbuka..
Bahkan di dalam Alquran, waktu untuk bersungguh-sungguh di dalam dakwah, tidak kami temukan hitungan waktu yang sedikit ini, seperti 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan. Yang kami temukan justru hitungan bilangan 950 tahun, siang dan malam, yaitu waktu dakwahnya nabi Nuh as.
Konsep inilah yang diamalkan dan dijadikan pegangan oleh para ahli dakwah dan tabligh. Berapa waktu dan cara apapun yang dilaksanakan oleh pelakunya untuk kepentingan dakwah, itu dapat diterima dan terpuji, serta sangat disyukuri, baik sejam ataupun dua jam, satu atau dua hari, sebulan, dua bulan, tiga bulan ataupun empat bulan.
Apabila ahli dakwah dan tabligh memberi semnagat tentang fadhilah khuruj fi sabilillah selama 3 hari, 40 hari, 4 bulan, maka bilangan-bilangan tersebut tidak menunjukkan penafikan hukum, bila khuruj (dakwah) dilakukan tidak dengan waktu-waktu tersebut. Baik waktu itu melebihi 3 hari, dari 40 hari, ataupun 4 bulan, ataupun kurang dari waktu-waktu tersebut.
Dengan demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3 hari, 40 hari, 4 bulan) yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang tidak disebutkan oleh mereka di dalam tertib waktu-waktu tertentu untuk berdakwah di jalan Alloh, tidak berarti menafikkan fadhilah dan hukum bilangan-bilangan yang selainnya, baik yang bertambah atau berkurang.
Apabila ada yang keluar untuk berdakwah selama 2 hari, maka ia tetap akan medapatkan fadhilah berdakwah dan pahalanya. Apabila ia keluar 38 hari sebagai ganti 40 hari, maka ia tetap akan mendapatkan pahal dan balasan Alloh, karena ia merupakan anugerah Alloh yang diberikan kepada orang yang Dia kehendaki..
Setiap waktu itu bukan bermakna pembatasan, sebab mahfum ‘adad bukanlah hujjah dan tidak bermakna peringkasan.
Selanjutnya Imam Al –Izz bin Abdissalam di dalam Qowaa’idil Ahkam memberi isyarat dengan ucapannya tentang bidah-bidah wajibah, diantaranya yaitu:
Sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Dan semua perantara yang dengannya Kalamullah dan sabda Rasulullah saw dapat dipahami, maka hukumnya wajib. Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya yang tidak sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama, sehingga dengan pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Alloh dan RasulNya, dan termasuk juga pengkhususan waktu untuk berdakwah dan menyebarkan risalah Nabi saw. Dakwah ilallah serta menyampaikan risalah adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh kaum muslimin.
Demikian juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk keberhasilan sesuatu misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk menjalankan kewajiban, dimana sempurnanya kewajiban tersebutbergantung pada waktu-waktu tersebut dan secara akal tidak dianggap berhasil kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut.
Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan kewajiban yang tidak mngkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya. Misalnya mempelajari ilmu fiqih adalah wajib, karena melalui ilmu fiqih, hukum-hukum syariat dapat diketahui, dan mempelajari fiqih tidak mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengan mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mendapatkannya.
Dalam hal ini, hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Artinya, wasilah-wasilah itu dihukumi wajib, karena tujuan kewajiban tadi tidak dapat sempurna kecuali dengannya.
Oleh sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi islampun, kecuali mengkhususkan waktu untuk mempelajari ilmu syariat yang bermacam-macam itu. Kami menemukan bahwa di fakultas-fakultas syariah di al azhar asy syarif di kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus. Demikian pula di fakultas-fakultas Ushuludin, dan fakultas –fakultas dakwah di universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh dunia islam.
Kami tidak mengira, jika ada orang yang mengaku sudah mempelajari ilmu-ilmu agama , lalu ia mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah bidah dan sesat, karena tidak dilakukan pada masa rasulullah saw..Astaghfirullah..
Selanjutnya Syaikh aiman abu syadi berkata mengenai ini, “Disebut bidah wajibah, yaitu suatu yang dibahas oleh kaidah-kaidah wajib dan dalil-dalilnya dari syariat, seperti pembukuan alquran dan ilmu-ilmu syariat yang dikhawatirkan punah. Dan sesungguhnya tabligh bagi generasi setelah generasi kami adalah wajib secara ijma’ ulama dan membiarkannya adalah haram secara ijma’. Contoh semacam ini tidak pantas diperdebatkan kewajibannya…
Imam Al-Izz bin abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risaklah kepda generasi penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini tidak sempurna, kecuali melalui wasilah hyang dapat mendatangkan, mendorong, dan menunjukkan kepadanya..
Apabila tabligh tidak sempurna kecuali dengan meluangkan waktu tertentu dan cara tertentu, maka waktu dan cara tersebut adalah wasilah yang wajib untuk meraih kewajiban yang mesti dilaksanakan sesuai dengan kadar kemampuannya..
Sesungguhnya bertabligh itu sah dengan cara dan wasilah yang telah disepakati dan diketahui oleh para ahli dakwah selama cara dan wasilah itu masih dalam kerangka syariat..
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi rah telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Alloh berfirman,
“Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (Al maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (shohih Bukhori, no.6717).
Dan syaikh aiman abu syadi mengungkapan pernyataan imam syatibi rah tentang penggunaan cara dalam mentablighkan risalah tanpa membatasinya, beliau mengesahkan setiap wasilah yang berbeda-beda yang mendatangkan tujuan. Seperti menghafal, berceramah, dan menulis. Lalu beliau memperluas setiap pernyataannya dengan kalimatnya sendiri,”dan lain-lain”. Artinya kedangkala wasilah-wasilah tabligh selain yang disebutkan oleh beliau adalah sah.
Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan segala penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai, sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar’I, nash, dan maslahat umum, seperti mengarang buku dakwah, siaran radio dan televisi islam, kaset-kaset dakwah, yang semua itu tidak pernah ditemukan pda masa dahulu..
Demikian pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan waktu untuk mencapai kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa, sebagaimana ditentukan waktu-waktu khusus untuk mempelajari alquran dan hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik lama maupun sebentar, berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun , semua itu termasuk dalam wasilah kepada yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu untuk khuruj fi sabilillah demi meningkatkan keimanan dan kesholihan..
Kami memohon kepada Alloh, agar memperlihatkan kepada kami kebenaran sebagai kebaran, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat mengikutinya. Dan Memperlihatkan kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat menjauhinya dengan anugerah dan rahmat-Nya..Amin ya rabbal ‘alamin. (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:1/45-59).
Penentuan waktu untuk tujuan syar’i termasuk sunnah
Syaikh Aiman abu syadi bekrta, “selanjutnya kami menyampaikan bahwa apabila kami menerima bantahan tentang tahdid (pembatasan) dalam mahfum adad—yaitu khuruj 3 hari, 40 hari, 4 bulan, dsb—ini sebagai pembatasan waktu, maka siapakah diantara alim ulama muktabar yang mengatakan bahwa pembatasan waktu untuk melakukan kewajiban-kewajiban syari itu adalah bidah sehingga harus ditinggalkan?????
Berikut ini adalah dalil yang terdapat di dalam hadits shahih Bukhori, kitab ilmu, Bab: Nabi saw memelihara (waktu) kepada mereka untuk memberi mau’izhah dan ilmu agar mereka tidak bubar”
Ibnu Mas’ud ra, meriwayatkan, “ Nabi saw mengatur (waktu) untuk kami dalam memberi nasehat di (sela) hari-harinya untuk menghindari kejenuhan terhadap kami” (shohih bukhro:I/27, msulim dalam bab taubat)
Ibnu hajar rah menulis, “Ungkapan; Nabi saw memelihara waktu untuk mereka, “lafdz At-Takhawul berarti memelihara waktu untu mereka, Al mau’izhah berarti nasehat dan peringatan, lafadz al ilmu diathofkan kepada lafadz Al Mau’izhah sehignga termasuk dalam bab ‘ Mengikutkan lafazh yang umum kepada yang khusus’, karena Al ilmu mengandung Mau’izhah dan yang lainnya. Diathafkan demikian, karena Mau’izhah terdapat dalam nash hadits dan lafazh al ilmu disebutkan sebagai dasar pengambilan hukum” (fathul bari:I/195)
Perhatikanlah pendapat Imam hafizh Ibnu hajar rah, bahwa Al Mau’izhah adalah nasehat dan peringatan. Dan kita ketahui bahwa tidak ada aktivitas dakwah kecuali berupa nasehat dan peringatan terhadap manusia tentang ajaran-ajaran agama mereka.
Lalu apakah nasehat dan peringatan termasuk dalam aktivitas dakwah atau tidak?? Bagaimana Nabi saw memelihara waktu untuk mereka dalam waktu tertentu dan terbatas, sehingga mereka tidak jenuh apabila dilakukan sehari-hari..
Dan perhatikalanlah, ucapan hafizh Ibnu Hajar rah, bahwa lafazh Al ilmu dikikutkan kepada lafazh Al Mau’izhah, termasuk dalam bab ‘Menngikutkan lafazh umum kepada yang khusus’, karena al ilmu mengandung mau’izhah dan yang lainnya..
Dalil imam bukhori dengan judul hadits diatas tentang penentuan waktu, tidak dikhsusukan pada mau’izhah saja. Lafazh al ilmu bermakna umum, maka keumuman lafazh al ilmu ini memuat semua cabangnya, seperti fiqih, hadits, tafsir, dakwah, ushul, fiqih, nahwu, ulumul lughoh, ulumul quran dan lainya masih banyak.
Dalam mendengar dan mempelajari semua cabang ilmu tersebut, diperbolehkan mengadakan pembatasan dan penetuan waktu, baik berupa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sebagaimana yang sudah berjalan di setiap perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia islam..
Mereka membatasi 4 atau 5 tahun untuk strata satu (S1), 4 tahun untuk mempelajari berbagai cabang ilmu lainnya, ada yang lebih dari 5 tahun dan ada yang kurang dari itu, bergantung pada aturan yang berlaku di masing-masing perguruan. Dan seluruh umat sepakat, bahwa hal tersebut adalah baik, bahkan mereka berlomba-lomba untuk menambah Dauroh ilmu tertentu dan mendukung system pengaturan tersebut..
Belum ada seorangpun, –sejak didirikannya system tersebut hingga sekarang ini–, yang mengklaim bahwa hal tersebut adalah bidah atau sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi saw dan para sahabat ra dengan membatasi 4 tahun untuk mempelajari hadits, dakwah, ushul fikih, fiqih, dan lain-lain..Seandainya ada seseorang yang mengatakan hal itu bidah, tentu orang-orang akan menertawakannya..Bahkan melalui system pengaturan waktu tersebut banyak yang telah tamat dari pesantren-pensantren., sekolah-sekolah, dan perguruan-perguruan tinggi, para imam agama..
Hafizh ibnu hajar rah berkata, “Hadits ini menunjukkan istihbab (disukai) meliburkan rutinitas amal sholeh untuk menghindari kebosanan. Rutinitas yang diperintahkan ada 2 macam. Pertama, ada kalanya setiap hari, namun tanpa meletihkan. Kedua, ada kalanya sehari masuk dan sehari libur untuk beristirahat, agar pada hari berikutnya dapat masuk dengan semangat, dan ada kalanya libur sehari dalam sepekan bergantung pada situasi..
Yang penting ktia perlu menjaga semangat agar tetap wujud. Sikap ibnu mas’ud rhu ini menunjukkan bahwa ia mengikuti sikap nabi saw hingga hari terakhir ia melihatnya. Hadits ini menunjukkan bahwa ia mengikuti nabi saw dengan hanya melihat selang waktu antara mengamalkan dan meninggalkan, diungkapkan olehnya dengan takhawwu, yang berarti menjaga dan memelihara waktu. Pendapat kedua ini lebih jelas. “(Fathul bari:I/196)
Syaikh aiman berkata, perhatikanlah pendapat imam besar ini, yang menyatakan bahwa rutinitas amal sholeh terkadang dilakukan setiap hari –sekiranya tidak melelahkan—dan terkadang sehari jalan dan sehari tidak, dan terkadang sehari saja yang diliburkan dalam seminggu, bergantung pada situasi dan kondisi masing-masing. Dan terkadang perlu libur dua hari dalam seminggu, dua atau tiga hari dalam sebulan, bergantung pada situasi dan kondisi masing-masing..
Demikianlah para ahli dakwah dan tabligh pun tidak membatasi 3 hari dalam setiap bulan, kecuali untuk menjaga rutinitas dakwah yang sesuai dengan masa, tempat, dan kondisi mereka sekarang ini..
Penjelasan imam ibnu hajar rah, bahwa ibnu mas’ud ra mungkin mengambil sikap berdasarkan sikap nabi saw hingga hari terakhir ia melihatnya. Ibnu mas’ud rahu mengikuti sikap nabi saw hanya dengan melihat jeda waktu antara mengamlkan dan meninggalkan (takhawwul). Ia mendunkung dan membatasi waktu untuk para shahabatnya yang biasa ia nasehati, karena mengikuti cara nabi saw. Dan ia tidak mengganti dengan nama hari dan tidak pula menyebutkan waktu yang telah digunakan oleh nabi saw dengan para sahabatnya, namun ia berpendapat bahwa masalah ini adalah luas, bergantung pada situasi , kondisi individu, dan zaman pada saat itu..
Demkian pula yang dilakukan oleh para ahli dakwah, mereka mengikuti metode nabi saw dalam menggunakan waktu yang mendukung untuk menasehati dan meningkatkan diri mereka dan manusia. Mereka tidak membatasi bahwa waktu-waktu tersebut adalah yang dilakukan oleh nabi saw, karena masalah ini sangat luas yang dapat diatur sesuai dengan kondisi dan siatuasi masing-masing individu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam ibnu hajar al atsqolani rah.
Demikian pula yang dipahami dan diamalkan oleh Ibnu Mas’ud rhu. Beliau tidak menjadikan kaedah dengan waktu yang telah dibatasi dan digunakan oleh nabi saw, Karena masalah ini sangat luas” (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:I/60-65).
Sahabat Rhu membatasi waktu
Apakah pembatasan waktu tidak pernah dilakukan oleh sahabat ra?? Mari kita simak jawabannya:
Terdapat beberapa keterangan bahwa pasa sahabat ra pun mengadakan pemabtasan waktu dalam hal-hal tertentu . Para imam hadits, diataranya imam bukhrori telah membuat judu dalam kitab shohinya, bab: “Seorang Ahli Ilmu Agama yang menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi mau’izhah”
Di dalamnya terdapat hadits dari abi wail, ia berkata, “Dulu Abdullah bin mas’ud memberi mauizhah untuk orang-orang setiap hari kamis”. Lalu seoranglaki-laki berkata, Ya aba Abdurrahman, sungguh senang hatiku apabila engkau memberi mauizhah kepada kami setiap hari.” Jawabnya, :tidak , aku dilarang berbuat demikian, sungguh aku benci, bila aku membuat kalian bosan..Dan sesungguhnya aku menjaga dan memelihara waktu kalian dalam memberi mauizhah , sebagaimana nabi saw menjaga dan memelihara waktu kami dalam menasehati untuk menghindari kebosanan kami” (shohih bukhori:I/27)
Di dalam hadits ini terdapat pengkhususan hari kamis dari setiap minggu untuk memberi nasehat dan (meningkatkan) iman. Di dalam hadits ini juga terdapat pembolehan atas pemabtasan dan penetuan waktu dalam rangka menasihati umat. Dan untuk mengerjakan semua cang ilmu, seperti : fiqih, hadits, ilmu dakwah, tafsir, dan lain-lainnya, boleh dikiaskan kepadanya, baik waktu yang dibatasi sehari, dua hari atau tiga hari..
Apabila kita mengenalisa judul bab atas hadits tersebut, sesungguhnya ilmu yang disebutkan dalam judul hadits tersebut adalah umum, bermacam-macam dan bercabang-cabang , memuat semua cabang ilmu, seperti fiqih, hadits, tafsir, bahasam bayan, balaghoh, dakwah, ulumul quran, usuhul fiqih, mauizhah dan lain sebagainya..dan semua cabang ilmu itu sebagai obyek pembahsan judul hadits. Hal ini bermakna, boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu utntuk semua cabang ilmu tersebut.
Dan seandainya kami memerinci lagi judul hadits tersebt berdasarkan sifat umum jaudul hadits diatas, dengan salah satu cabang ilmu, misalnya, fiqih, dan kami tulis judul tersebut demikian, ” Seseorang ahli fiqih menjadikan hari-hari tertentu untuk memberikan pelajarannya”. Apakah ada yang menentang judul tersebut?? Apakah ada yang menolak perkataan kami itu????
Jawabnya , pasti tidak ada
Oleh sebab itu, setiap ahli ilmu dan para ahli fiqih memabtasi waktu-waktu tertentu untuk murid-muridnya dalam mempelajari ilmu fiqih, baik sehari dalam seminggu, sehingga dalam sebulan bertjumlah 4 hari, atau dua hari dalam seminggu, sehingga sebluan menjadi delapan hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu –waktu tersebut.
Tidak itu saja, sekarangpun seseorang dapat membatasi dengan mengkhususkan hari-hari tertentu baik itu hari jumat, sabtu, ahad, atau hari-hari lainnya. Dan itu juga dapat membatasi dan mengkhususkan waktu yang akan digunakan, misalnya: anatara maghrib dan isya, atau setelah isya, atau setelah ashar, dan sebagainya..
Selanjutnya dalam waktu yang terbatas ini, ia pun dapat lebih mengkhususkan lagi waktu penggunaannya, yaitu sejam atau setengah jam atau lebih atau berkurang dari waktu-waktu tersebut.
Pertanyaaanya adalah, “Apakah semua itu termasuk sunah atau bidah??????
Kami jawab dengan tegas bahwa semua itu termasuk sunah, tanpa ada keraguan sedikitpun didalamnya, sebab hal tersbut telah dilakukan oleh nabi saw danpara sahabat rhum, para tabiin, dan para imam, alim ulama mujtahidin pada abad ke III, dan juga oleh orang-orang yang mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mempelajari ilmu yang mereka khususkan..
Dan apabila kami memberi judul, misalnya; “Seorang ahli hadits menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi pelajarannya”. Apakah ada yang menetang judul ini?? Apakah ada yang menuduhnya bidah??
Jawabnya; hal tersebut justru sunah yang harus diikuti bahkan mempelajari hadits nabi saw adalah fardhu kifayah. Meskpiun hal tersebut dilakukan dengan waktu-waktu terbatas dan khusus..
Apabila kami menuliskan judulnya, “Seorang ahli tafsir menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi mauizhah”. Apakah ada yang menentangnya?? Jawabannya, tidak ada, bahkan hal ini disukai oleh setiap orang, karena tafsir adalah cabang dari ilmu..
Demikianlah, karena alasan pengkhususan waktu tersebut adalah sesuai dengan kehidupan manusia, sebagaimana pendapat alim ulama rah..
Dapat dibayangkan, apabila ada seorang ulama berkata kepada masyarakat;
Ulama: ”Wahai manusia, aku akan mengajarkan ilmu tafsir, insyaAlloh dalam minggu-minggu ini”. Lalu orang-orang yang hadir bertanya; “Waktunya kapan ya ustadz, agar kami bisa menghadirinya?”. Kemudian ulama tadi menjawab, “ Tidak, kami tidak membatasi waktu tertentu, karena ini bidah. Namun datanglah kalian dalam minggu-minggu ini, dengan ijin Allah swt pelajaran dan ceramah akan dimulai.”
Kemudian mereka datang pada hari sabtu, namun syeikh yang mulia tidak datang. Mereka pun berkata di dalam hatinya, “Syaikh yang alim tidak datang”
Syaikh tidak menentukan waktu belajarnya (karena beliau anggap membatasi waktu tertentu adalah bidah). Dan sebaliknya ia datng pada hari yang mereka tidak datang. Misalnya hari Jumat, maka ia tentu tidak dapat menemukan mereka..
Syaikhpun berkata dalam hatinya, “Mereka itdak menyukai ilmu dan tidak menghendaki pelajaran”. Syaikh mencela masyarakatnya, dan masyarakatnya pun berbalik mencelanya. Kemudian syaikh berkata lagi, “kalau begitu datanglah lagi dalam minggu-minggu ini untuk mendengarkan pelajaran”. Lalu mereka bertanya, “Hari apa ya ustadz??”
Syaikh menjawab, “Kami tidak menentukan hari karena hal itu adalah bidah, tetapi kalian datang saja…”. Mereka meminta kepastian dan berkata” Jangan demikian, kami telah banyak kehilangan waktu, tentukanlah waktunya atau pelajaran tidak usah diadakan.”
Perbincangan itu tidak akan berakhir, kecuali jika syaikh bersedia menetukan waktu khusus untuk mereka, agar pelajaran bagi mereka dapat terlaksanakan.
Apakah dakwah terkeluar dan bukan dari salah satu cabang ilmu?? Dan apakah berlebih-lebihan , jika kami katakana bahwa dakwah adalah induk semua jenis ilmu syari?? Dari dakwahlah ilmu menjadi bercabang-cabang, dari dakwalah cabang-cabang ilmu dipelajari..
Dan kaum muslimin sejak masa nabi saw hingga sekarang rajin membuat kelompok yang mempelajari metode dakwah, teknik, dan tujuan-tujuannya. Inilah yang dipelajari oleh fakultas dakwah, universitas al azhar di kairo mesir, fakultas dakwah di madinah al munawarah, dan masih banyak di perguruan tinggi dunia islam lainnya..
Lalu sekarang menjadi aneh, jika judul dakwah secara khusus ditolak dan menerima yang lainnya??
Alloh berfirman, “Bahkan mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjesalannya.” (Yunus:39)
Apabila ditanya, apakah mengkhususkan waktu-waktu untuk mempelajari dakwah dan menyebarkannya kepada umat, sunah atau bidah?? InsyaAlloh akan dijawab tanpa keraguan didalamnya, Yaitu Sunnah. Bahkan dakwah itu sebagai kewajiban dan pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan dakwah nabi saw itu dilakukan oleh sahabat ra, sebagaimana disebutkan adanya judul dari shohih bukhrori..
Sesungguhnya para sahabat ra pun menentukan waktu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Dan dakwah tidak berbeda dengan judul-judul yang disebutkan, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir, mau’izhah, dan lain-lain. Sebagaimana pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan cabang-cabang ilmu tersebut adalah sunnah—bukan bidah–, maka demikian pula dakwah, karena semuanya memiliki satu tujuan umum, yaitu mempelajari ilmu dan menyebarkannya.
Imam bukhori rah menetapkan bahwa penetapan waktu ini adalah jaiz (boleh), karena tanpa mengadakan demikian, maka dapat mendatangkan kesulitan. Padahal menuntut ilmu hukumnya wajib, tidak boleh ditinggalkan.
Demikian pula dakwah, maka tidak ada cara keculai dengan menetukan dan mengkhususkan waktunya, yaitu pada hari yang dapat dihadiri oleh masyarakat, sehingga tidak menyulitkan mereka serta kehidapanya. Dan tujuannyapun dapat tercapai.
Imam al kasymiri rah dalam faidhil bari, syarah shohih bukhori hal 170, dalam menjelaskan judul hadits ini, berkata: “ Dia (imam bukhori) memaksudkan penentuan waktu seperti tidak disebut bidah.
Demi Alloh, demikianlah perasaan setiap orang yang khuruj untuk berdakwah bersama ahli dakwah dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. Berbeda dengan dosa kesombongan yang merasuk di dalam hati. Ketenangan inilah yang selalu kami lihat terhadapa orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh SWT. Untuk menggunakan setiap tenaganya untuk khuruj dan meluangkan waktunya untuk berkhidmat kepada agama Allah.
Namun tidak sedikit orang yang menentang, mencela dan mengkritik mereka dalam masalah waktu-waktu mereka yang digunakan siang dan malam. Mereka juga dengan seenaknya mengingkari hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban agama Alloh, dan dengan seenaknya menolak dengan kekuatan mereka, padahal dibelakangnya mereka memiliki lembaran-lembaran yang menghapus pahala amal mereka dan menyegel perkataaan mereka yang jujur dan hak, bukan yang palsu dan dusta. (Nazhrah ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:1/67-75)
Perkataan para ulama tabligh tentang penentuan hari
Penyusun kitab “kewajiban mengajak kepada kitab dan sunnah” berkata “ Aku bertanya kepada syaikh zainul abidin, “ Apa pendapat kalian tentang khuruj 4 bulan dan 40 hari dalam setiap tahun?? Dan apa dalilnya?? Beliau menjawab, “ Hal ini sekedar untuk (memudahkan pelaksanaan) tertib.”
Syaikh umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima’ berkata, “ kami tidak menemukan didalam alquran dalil-dalil 4 bulan setahun dan juga jamaah jalan kaki. Bahkan yang kami temukan adalah Alloh telah membeli semua kehidupan dan harta kaum mukmin, dengan demikian, Alloh telah memerintahkan kami agar keluar (khuruj) setahun atau 4 bulan..Mengapa, yaitu agar kami membiasakan diri mengorbankan harta dan diri di jalan Alloh.
Kemudian syaikh berkata, “ Baik, siapa yang siap khuruj fi sabilillah 40 hari??” lalu ada seorang pemuda berdiri, dan berkata, “ ya syaikh kenapa hanya 40 hari??lalu syaikh menjawab, “Baik siapa yang siap 39 hari??” (sawanih syaikh Muhammad umar palanpuri: II/87).
Demikianlah pendapat jumhur ulama dan para ahli ushul fiqih, bahwa pembatasan dan pengkhususan waktu untuk kepentingan agama tidaklah bertentangan dengan syariat, sehingga tidak dapat dikatakan bidah.
Dan demikian pula ketetapan para ahli dakwah dan maksud penggunaan waktu-waktu tersebut, Kami memohon kepada Alloh agar melapangkan dada kami dan membangkitkan semangat kami, dan semoga syetan tidak menguasai kami atas syariat yang jelas untuk ikut andil dalam pembahasan ini…
InsyaAlloh kesalahpahaman ini tidak akan bertambah lebar sehingga tidak akan menghambat umat untuk bersungguh-sungguh dalam agama dan dakwah..amin yaa rabbal alamin…
(Sumber: Kupas tuntas jamaah tabligh: II/ 5-27)

Senin, 11 Februari 2013

Muktamar Khilafah 1434 H.



PENDAHULUAN

Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Walhasil, keberadaan Khilafah itu bukanlah demi kekuasaan atau pemerintahan itu sendiri. Khilafah ada hanya demi syariah yang wajib hukumnya berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah.

Lebih lanjut, Banyak Ulama menyatakan tentang kuatnya hubungan agama(syariah) dan Negara(Khilafah) seperti Imam Ghazali dalam “al-Iqtishad fi al-I’tiqad” menyatakan “Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak ada asasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang”.

Selain jelas wajibnya, menegakkan syariah juga mempunyai banyak urgensitas (ahammiyah) dalam perspektif Islam. Antara lain :
1. Pertama, tegaknya syariah dapat mewujudkan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah SWT (QS. Adz-Dzariyaat [51] : 56) Beribadah dalam arti umum, yakni mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Misalnya menjalankan sistem pidana Islam jelas tidak mungkin ada tanpa syariah Islam.

2. Kedua, tegaknya syariah membuahkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat manusia di dunia (QS. Al-A’raaf [7] : 96). Sebaliknya dengan menelantarkan syariah, manusia akan hidup sengsara dan mendapat azab dari Allah di dunia (QS. Ar-Ruum [30] : 41).

3. Ketiga, tegaknya syariah akan menyelamatkan kita di Hari Kiamat kelak. (QS. Thaha [20] : 123-124)

Jelaslah, menegakkan syariah adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-lagi lagi. Menegakkan syariah adalah kewajiban yang sudah final dan tidak boleh dibatalkan oleh siapa pun dan dalam masa kapan pun.

Namun mustahil kita menjalankan kewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) tanpa adanya Khilafah sebagai pemerintahan yang pro-syariah. Kaidah fikih menegaskan maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Maka tidak mungkin kita menjalankan kewajiban penegakan syariah, tanpa Khilafah.

Sebaliknya Demokrasi-Kapitalisme sebagai ideologi yang diterapkan di dunia saat ini nyata-nyata telah gagal menyelesaikan berbagai problematika umat manusia. Kapitalisme telah menjerumuskan manusia kepada titik yang paling hina dan nista. Negara kapitalis juga menghadapi krisis global, banyak yang colaps menuju kebangkrutan. Berbagai cara dicoba juga tidak membuahkan hasil, justru mereka seperti putus asa bisa keluar dari system kapitalis yang ribawi. Sungguh sebentar lagi system kapitalis akan menuju kehancurannya.

Disisi lain, banyak negeri muslim yang merindukan hidup dibawah naungan khilafah. Setelah apa yang mereka rasakan, lihat dan saksikan, dengan system selain khilafah, mereka semakin menderita, jauh dari rasa aman, tentram dan bahagia. Berbagai pergolakan yang terjadi di timur tengah (Tunisia, Mesir, Lybia, Suriah, dll) selain untuk menurunkan rezim penguasa diktaktor agen Penjajah (Barat), juga menuntut penerapan syariah dan khilafah. Bahkan dijantung Negara kapitalis sendiri, opini tentang tegaknya Khilafah semakin Besar. Khilafah bergema di Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Jerman, Belanda, Australia, Perancis, Spanyol, dll. Sekarang seluruh umat manusia menantikan masa yang dikabarkan oleh Rosulullah SAW yakni “Kemudian akan datang kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian..”. Sekarang adalah momentum perubahan besar dunia menuju Khilafah.

Maka bersamaan dengan momentum 89 tahun Runtuhnya Khilafah, sekaligus mengingatkan umat Islam akan kewajibannya untuk menegakkan Khilafah dan memberikan kabar gembira akan hadirnya kembali Khilafah Islam (dalam waktu dekat), Hizbut Tahrir Indonesia berencana melaksanakan Muktamar Khilafah 1434 H.

NAMA DAN TEMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama Muktamar Khilafah 1434H dengan tema utama ”Perubahan besar Dunia Menuju Khilafah”.

TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan:
1. Untuk mengingatkan umat Islam tentang kewajiban mereka untuk menegakkan KhilafahIslamiyah.
2. Memberikan kabar gembira kepada umat Islam akan perubahan besar dunia menuju tegaknyakembali Kekhilafahan Islam.
3. Membentuk opini umum tentang syariah dan khilafah di tengah-tengah masyarakat , Indonesiadan Dunia.
4. Mengajak kaum muslimin ambil bagian dalam menyongsong perubahan besar dunia menuju Khilafah.

Silahkan kunjungi : hizbut-tahrir.or.id


by:muslimah hizbut tahrir indonesia

Sabtu, 22 Desember 2012

"The Khilafah: Protecting Women from Poverty and Enslavement"




Siaran PersHizbut Tahrir"Khilafah: Melindungi Perempuan dari Kemiskinan dan Perbudakan"Tepat pada hari sabtu Sabtu 22 Desember 2012 kemaren, Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir dalam koordinasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia Siaran PersHizbut Tahrir Host Konferensi suatu Perempuan Internasional:"Khilafah: Melindungi Perempuan dari Kemiskinan dan Perbudakan"
Pada hari Sabtu 22 Desember 2012, Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir dalam koordinasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia menjadi tuan Konferensi Perempuan Internasional penting di Jakarta, Indonesia berjudul, "Khilafah: Melindungi Perempuan dari Kemiskinan dan Perbudakan." Ini akan mengumpulkan pembicara dan penonton dari 1500 wanita berpengaruh dari seluruh dunia untuk mengatasi penyebab keadaan menyedihkan kemiskinan dan eksploitasi ekonomi yang dihadapi perempuan di dunia Muslim dan global, serta menyajikan sistem Khilafah sebagai model pemerintahan yang dapat memecahkan masalah ini melumpuhkan yang mempengaruhi perempuan di seluruh dunia. Ini akan menjadi puncak dari kampanye global tentang isu bahwa Hizbut Tahrir telah terlibat dalam selama beberapa minggu terakhir.Dr Nazreen Nawaz, Perwakilan Perempuan dari Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir berkomentar,"Di seluruh dunia Islam saat ini, jutaan perempuan bertempur setiap hari untuk kelangsungan hidup keuangan kemiskinan putus asa telah memaksa banyak untuk mencari pekerjaan di luar negeri., Sering menghadapi dalam penyalahgunaan proses parah. Lain telah didorong untuk bekerja dalam pekerjaan di bawah kondisi mirip perbudakan untuk memberi makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka, atau kiri mengemis di jalanan. ini diproduksi kemiskinan ini perempuan menjadi korban pemerintah yang tidak kompeten korup di dunia Muslim yang telah membangun kekayaan pribadi mereka dari kekayaan negeri-negeri Muslim,. dan mereka adalah korban dari sistem kapitalis cacat dan menindas bahwa kepemimpinan menerapkan dan mempromosikan di negara mereka. ""Ini sistem kapitalis beracun, berdasarkan ekonomi pasar bebas dan model berbasis bunga keuangan telah menghasilkan ketimpangan massal dalam kekayaan, mendorong perempuan secara global ke dalam perbudakan kemiskinan dan ekonomi, termasuk jutaan hidup dalam negara-negara Barat serta negara-negara merayakan ekonomi tinggi pertumbuhan seperti China, India, Turki, dan Brasil. Dalam dunia Islam, kebijakan kolonial kapitalis dipaksakan pada wilayah dengan negara-negara Barat melalui globalisasi, liberalisasi pasar bebas, dan pinjaman dari lembaga seperti IMF dan Bank Dunia telah memanipulasi ekonomi dari negeri-negeri Muslim untuk melayani kepentingan pemerintah asing dan perusahaan sementara memiskinkan massa, menghancurkan pasar lokal, dan merampok orang-orang kaya dan sumber daya. ""Sementara itu, ideologi, eksploitatif kapitalis materialistik yang menempatkan penciptaan kekayaan di atas semua nilai-nilai lain dalam hidup telah berkorelasi pemberdayaan perempuan dengan pekerjaan, mendevaluasi ibu, dan mengikis konsep pemeliharaan laki-laki dan keadaan wanita - semua dalam upaya untuk mendorong perempuan ke tempat kerja. Hal ini telah menghasilkan suatu tekanan sosial yang kuat bagi perempuan untuk mencari pekerjaan untuk merasa dihargai, dan mengadopsi peran menindas menjadi baik nafkah dan rumah-maker, menyebabkan mereka untuk berkompromi peran penting mereka sebagai pengasuh dan pendidik masa depan Generasi. Sistem ini memiliki wanita manusiawi apa-apa kecuali komoditas ekonomi yang membawa keuntungan finansial untuk negara mereka, dan meninggalkan banyak uncared untuk dengan tidak ada untuk menyediakan bagi mereka dan anak-anak mereka. ""Konferensi ini mengumpulkan perempuan dari seluruh dunia untuk menyajikan Khilafah sebagai satu-satunya model pemerintahan yang dapat mengakhiri keadaan menyedihkan dari kesulitan keuangan dan eksploitasi Ini akan menyoroti bagaimana hal ini adalah sistem. Yang tempat mengamankan kebutuhan manusia atas keuntungan finansial dan perempuan dilihat sebagai manusia yang bermartabat akan selalu disediakan untuk dan dilindungi oleh kerabat laki-laki mereka atau oleh negara, dan bukan sebagai obyek dari penciptaan kekayaan, sementara pada saat yang sama memungkinkan mereka untuk mengejar karir jika mereka memilih. Ini akan juga menyajikan kebijakan yang unik dan suara ekonomi Islam Khilafah yang memiliki pendekatan yang telah teruji untuk mengatasi kemiskinan dan menyediakan keamanan finansial. Ini akan menjadi negara yang benar-benar perempuan secara global dapat terlihat sebagai model yang digunakan untuk melindungi mereka dari kemiskinan dan eksploitasi. Kami meminta semua wanita yang mencari solusi yang benar terhadap penindasan ekonomi dan perbudakan untuk menghadiri konferensi ini penting. "POTRET







Minggu, 09 September 2012

Sudahkah anda mentahuidkan dakwah anda??







 1. ISLAM ADALAH AGAMA DAKWAH
 2. MISI UTAMA ROSULULLAH ADALAH DAKWAH
 3. DAKWAH JUGA WUJUD KASIH SAYANG
 4. INTI DAKWAH ISLAM SERUAN KEPADA MANUSIA UNTUK MENTAHUIDKAN    ALLAH...
 5.SECARA KHUSUS  DAKWAH JUGA DAPAT DI ERTIKAN PENGKADERAN....

Sudahkah anda mentahuidkan dakwah anda??
JIKA LAGI BELUM MASIH MAKA BERGEGASLAH....














Tak Memperjuangkan Khilafah, Berdosa?

Soal:

Jika menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada? Apakah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat sudah ada yang mengerjakannya?

Jawab:
Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (kepala negara) hukumnya fardhu kifayah.” Dalam kitab al-Furu’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.” Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.[1]
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.[2] Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:
اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا: لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.

Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah, dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.[3]
Karena itu, pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya, ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkannya saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil?
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:
إِذَا فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَـرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَإِنْ تَرَكُوْهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ
Jika fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka semuanya berdosa. [4]
Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain. Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:
ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ
Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia. [5]
Dengan kata lain, fardhu kifayah  dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim; semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakannya hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, maka fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain. Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:
خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ.
(Fardhu kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, saat mereka secara langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. [6]
Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, karena belum ada seorang pun mujtahid sebelum beliau yang merumuskannya, maka ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.
Maka dari itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini-sebagaimana seruan (khithab) asalnya untuk seluruh kaum Muslim-kembali kepada seluruh umat Islam. Dengan dilaksanakannya kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebab, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian, mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.
Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
إنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِ قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا ـ قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِراً عَلىَ الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاََّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاََّ بِهِ.
Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…Karena melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksanya untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. [7]
Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban  menegakkannya karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka. Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orang tua maupun anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:

[1] Al-’Allamah ‘Ala’uddin al-Mardawi, Al-Anshaf, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, X/271 dan XI/42. [2] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368; al-’Allamah Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, II/185; al-’Allamah al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr, Beirut, 1998, II/437; al-’Allamah al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib; al-’Allamah al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal.
[3] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368.
[4] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, XIII/8.
[5] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, II/19.
[6] Al-Imam al-’Allamah al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/68.
[7] Al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/119.